Subang | dinamikapendidikan.com – Mengeluarkan siswa dari sekolah seharusnya bukan merupakan sanksi utama untuk pelanggaran tata tertib. Sekolah sebaiknya fokus pada solusi yang bersifat mendidik dan pemulihan, serta melibatkan pihak terkait seperti orang tua atau wali siswa. Mengeluarkan siswa dari sekolah dapat melanggar hak anak pada pendidikan dan memiliki dampak negatif pada perkembangan psikologis anak, hal tersebut dikatakan oleh Bismar Ginting,SH.,MH selaku Advokat / Pengacara yang tinggal di Jawa Barat.
Ditambahakan Bismar, Pemerintah memang tidak melarang sekolah untuk membuat peraturan/tata tertib sekolah beserta sanksinya, namun jika merujuk pada peraturan perundangan berikut ini, sekolah tidak seharusnya mengeluarkan peserta didik dengan alasan pelanggaran tata tertib yang dibuat sekolah apalagi bukan suatu tindak pidana.
Berikut rujukan peraturan-peraturan dimaksud, pertama; UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 bahwa menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Karena itu pendidikan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, tidak ada seorang pun bahkan negara dapat merampas hak pendidikan seseorang, karena sejatinya pendidikan merupakan hak dasar yang melekat pada individu sejak lahir.
Pendidikan merupakan aspek penting dalam kehidupan, bahkan secara tegas disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Meski demikian masih banyak anak yang tidak memiliki akses atau bahkan diputus aksesnya untuk bisa mengenyam bangku pendidikan.
Kedua; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan dalam Pasal 1 Ayat (1) bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia anak pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Ketiga; Undang-Undang Nomor: 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak bahwa anak yang telah dijatuhi pidana penjara ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus anak dan berhak untuk memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan serta hak lain.
Jika di dalam penjara saja, pendidikan baik formal maupun karakter, menjadi hal yang utama dan diberikan kepada seluruh penghuninya, maka kebijakan mengeluarkan anak dari sekolah adalah keputusan yang tidak mencerminkan kebijaksanaan. Sekolah seharusnya menjadi wadah untuk melaksanakan pendidikan bagi siapa saja tanpa diskriminasi terhadap anak yang memiliki stigma nakal ataupun tidak.
Keempat; Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 Tentang wajib belajar Pasal 12 Ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar, wajib mengikuti program wajib belajar. Kelima; Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar telah menetapkan rintisan wajib belajar selama 12 tahun.
Berangkat dari aturan diatas, Kamis (5/6/2025) Perwakilan Orang Tua Murid yang sudah di kuasakan oleh saudari (N) kepada saudara (S) datang ke sekolah dengan baik baik mempertanyakan permasalahan anak yang mau di keluarkan tanpa bukti dan dasar yang jelas tetapi oknum Plt Kepala SMAN 1 Subang bersikap arogan dan diduga sara tidak mencerminkan seorang pemimpin di sekolahan tersebut.
Dan menurut orang tua siswa sikap yang di lakukan oleh Plt Hj S.M Saribanon S.Pd tersebut seharus bijak dan ramah maka dengan hal itu pihak dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat harus mengkaji ulang atas jabatan Plt yang baru di embannya.(Njang/Surya)