Cirebon | dinamikapendidikan.com – Proyek revitalisasi SDN 2 Tegalwangi di Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon yang dibiayai Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik 2024 dengan anggaran sebesar Rp. 1.405.481.778,50, menimbulkan kekhawatiran serius terkait pelanggaran aturan keselamatan konstruksi. Dugaan kuat bahwa pelaksana dan pengawas proyek ini mengabaikan kewajiban penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) memicu sorotan tajam dari masyarakat.
Leo Adiyan, seorang warga Kabupaten Cirebon, mengungkapkan kekhawatirannya atas pembangunan ini. “Sesuai dengan peraturan yang berlaku, seperti yang tercantum dalam Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2021, UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dan PP Nomor 14 Tahun 2021, penerapan SMKK adalah hal wajib yang bertujuan untuk menjamin keselamatan para pekerja dan memastikan kualitas hasil konstruksi. Biaya penerapan SMKK harus mencakup sembilan komponen penting, termasuk penyiapan Rencana Keselamatan Konstruksi (RKK), pelatihan, alat pelindung diri, asuransi, serta fasilitas kesehatan,” ujarnya kepada media.
Lebih lanjut, Leo Adiyan menjelaskan bahwa dalam Daftar Kuantitas dan Harga (DKH) proyek, seharusnya terdapat rincian biaya penerapan SMKK secara lengkap. “Biaya yang dimaksud tidak hanya mencantumkan Biaya K3 saja, tetapi juga harus memuat rincian detail atau sembilan komponen SMKK. Namun, yang terjadi justru biaya K3 hanya tercantum dalam satuan lump sum (Ls), tanpa rincian yang jelas. Praktik ini menimbulkan kecurigaan adanya dugaan penyalahgunaan anggaran yang berpotensi merugikan, karena tidak sesuai dengan peraturan yang mengharuskan semua komponen SMKK tercantum dengan jelas,” tambahnya.
Selain itu, Leo Adiyan menyoroti kinerja beberapa pihak terkait yang terlibat dalam proyek ini. “Mirisnya, pihak-pihak seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), pengawas proyek, Kepala Dinas Pendidikan, Sekretariat Daerah, konsultan, dan Kepala Bagian Penyedia Barang dan Jasa, tampaknya mengabaikan pelanggaran ini. Ketidakpatuhan mereka terhadap regulasi K3 dan SMKK menunjukkan lemahnya pengawasan dan tanggung jawab. Dalam proyek yang didanai publik sebesar ini, keselamatan dan keterbukaan kepada publik seharusnya menjadi prioritas utama,” tegasnya.
Pengabaian terhadap SMKK ini, menurut Leo Adiyan, bukan sekadar pelanggaran administratif. “Ini mencerminkan ketidakpedulian terhadap keselamatan para pekerja dan kualitas hasil pembangunan. Kegagalan menerapkan SMKK bisa berakibat fatal, tidak hanya bagi para pekerja, tetapi juga bagi masyarakat yang akan menggunakan fasilitas tersebut,” jelasnya.
Leo Adiyan juga menekankan pentingnya tindakan tegas terhadap pelanggaran ini. “Pelanggaran terhadap regulasi ini harus disikapi dengan serius. Pihak-pihak yang terlibat dalam pengawasan dan pelaksanaan proyek wajib diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Masyarakat berhak menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah serta instansi terkait agar dana publik digunakan dengan benar dan bertanggung jawab. Saya sudah mengirimkan surat kepada dinas terkait untuk menindaklanjuti hal ini. Ke depan, pengawasan harus diperketat agar setiap proyek konstruksi mematuhi standar keselamatan dan kualitas yang telah ditetapkan dalam regulasi,” tegasnya.
Ia berharap proyek revitalisasi SDN 2 Tegalwangi, yang seharusnya menjadi contoh positif dalam pembangunan infrastruktur pendidikan, tidak justru menjadi sorotan buruk karena pelanggaran ini. “Pemerintah Kabupaten Cirebon dan semua pihak terkait harus segera bertindak untuk memperbaiki situasi ini sebelum kerugian-kerugian yang tidak diinginkan terjadi,” harapnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak terkait belum dapat dihubungi untuk dimintai tanggapan. (Dede S)